TEMPO.CO, Jakarta - Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan atau PDIP identik dengan lambang kepala banteng berhidung putih atau moncong putih. Akar tanda partai ini ternyata berasal dari Partai Nasionalis Indonesia atau PNI, cikal bakal PDIP, yang didirikan Sukarno pada 1927.
Lantas bagaimana sejarah lambang kepala banteng PDIP bermoncong putih ini?
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Saat mendirikan PNI Marhaenisme, Sukarno memilih logo kepala banteng dengan bingkai segitiga. Lambang tersebut menggambarkan nasionalisme, demokrasi, dan sosialisme. Logo itu ternyata terinspirasi dari lambang organisasi Perhimpunan Indonesia atau PI. Ini lantaran beberapa anggota PNI merupakan mantan anggota organisasi yang dibentuk di Belanda pada 1908 tersebut.
Dalam Biografinya, Potret Seorang Patriot karya R. Nalenan, anggota PNI Arnold Mononutu mengungkapkan kemiripan logo PI dan PNI. Keduanya sama-sama menggunakan warna merah putih. Sementara perbedaan lambang PI dan PNI adalah karakter hewannya. PNI menggunakan banteng, sedangkan PI menggunakan kerbau.
“Kalau lambang Perhimpunan Indonesia merah putih dengan gambar kerbau tengahnya, maka lambang PNI juga tetap menggunakan merah putih hanya kerbau diganti dengan kepala banteng,” kata Arnold dalam biografinya.
PNI bukanlah yang pertama menggunakan kepala banteng sebagai lambang. Organisasi Pemuda Indonesia yang berdiri pada 20 Februari 1927 di Bandung ternyata telah lebih dulu menggunakannya. Sementara PNI baru lahir lima bulan berikut, tepatnya 4 Juli 1927.
Pada era 1970-an, PNI bersama sejumlah partai lainnya melakukan fusi. Indonesia kala itu memiliki sedikitnya sembilan partai. Pemerintah Orde Baru di bawah kepemimpinan Soeharto menghendaki hanya ada tiga partai. Aturan baru itu digedik sebelum Pemilu 1977.
Partai Golkar yang merupakan partainya Soeharto tetap berdikari tanpa harus melakukan penggabungan. Sementara delapan partainya lainnya terbagi menjadi dua, yakni Partai Demokrasi Indonesia atau PDI dan Partai Persatuan Pembangunan atau PPP. Sejak melakukan fusi, internal PDI terus bergejolak karena campur tangan pemerintah dalam urusan partai.
Partai pun terpecah menjadi dua kubu, yaitu kubu pion Soeharto, Budi Hardjono dan kubu sejati partai. Rezim Orde Baru selalu berusaha menempatkan orang-orangnya sebagai Ketum. Pada 1993, Megawati naik jadi pucuk pimpinan. Tapi dilengserkan pada 1996. Perpecahan itu berpuncak pada peristiwa Kerusuhan Dua Puluh Tujuh Juli atau Kudatuli.
Kejadian terjadi rentang dua bulan pasca turunnya Megawati. Pendukung Hardjono menyerbu Kantor PDI kubu Megawati. Setelah kejadian itu, di bawah kepemimpinan Hardjono, PDIP mendapatkan hasil tak menguntungkan pada Pemilu 1997. Ketika Soeharto lengser pada 1998, berakhirlah rezim Orde Baru.
Sistem tiga partai turut runtuh. Partai-partai tumbuh bagai cendawan di musim penghujan. PDI yang selama Orde Baru direcoki pemerintah akhirnya lapang haluan. Pada 1999, Megawati Soekarnoputri kemudian merombak nama partainya dengan menambahkan embel-embel Perjuangan. Logonya juga diganti.
Megawati meminta Triawan Munaf, eks Kepala Badan Ekonomi Kreatif Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif dan mantan Komisaris PT Garuda Indonesia (Persero) Tbk, itu untuk membuat logonya. Megawati, kata Triawan, saat itu meminta agar dibuatkan logo partai yang baru, segar dan progresif. Salah satu ide yang Megawati curahkan adalah moncong putih. Dari tangan ayah penyanyi Serina Munaf ini, logo baru lahir.
“Itu tim ya yang buat logo, tahun 1999. Itu kita diminta Ibu Mega untuk menciptakan identitas baru PDIP,” kata Triawan Munaf.
Dilansir dari laman PDIP, lambang PDI Perjuangan berupa gambar banteng hitam, bermata merah, dan bermoncong putih dengan latar merah di dalam lingkaran bergaris hitam dan putih.
Adapun maknanya yaitu warna dasar merah melambangkan berani mengambil risiko dalam memperjuangkan keadilan dan kebenaran untuk rakyat. Mata merah dengan pandangan tajam melambangkan selalu waspada terhadap ancaman dalam berjuang. Moncong putih melambangkan dapat dipercaya dan berkomitmen dalam memperjuangkan keadilan dan kebenaran. Serta, lingkaran melambangkan tekad yang bulat dan perjuangan yang terus-menerus tanpa terputus.
Ikuti berita terkini dari Tempo di Google News, klik di sini.
Popularitas dan politik merupakan dua hal yang tidak terpisahkan. Dimana popularitas berasal dari populer dan/atau kepopuleran sebagai kata nomina untuk...
Elang alap jambul (Accipiter trivirgatus) adalah sejenis elang yang termasuk ke dalam spesies dari genus accipiter.
Karateristik dalam burung elang alap jambul adalah:
Berukuran sedang 30–46 cm, Rentang sayap 54–79 cm dan berat tubuh jantan sekitar 352 gram dan betina sekitar 563 gram dengan rentang sayap jantan sekitar 68 sampai 76 cm dan betina betina sekitar 78 sampai 90 cm. Tubuh gelap dengan jambul yang jelas.
Pada waktu berbiak kadang memperlihatkan gaya terbang yang khas, getaran sayap (bulu putih sisi tubuh terlihat jelas), berselang dengan luncuran pendek dalam lingkaran yang sempit. Makanan burung ini adalah kadal dan burung. Sarangnya terbuat dari tumpukan besar ranting berlapis daun, pada pohon tinggi di hutan. Telurnya berwarna putih kebiruan, berbintik coklat, jumlah telur adalah 2 butir. Berkembang biak bulan Desember-Maret.
Selalu tinggal di hutan lebat, baik hutan hijau sepanjang tahun ataupun hutan gugur daun. Ditemukan juga di hutan-hutan[2] sekunder mengunjungi perkebunan teh. Hutan lebat, hutan dataran rendah, perbukitan. Tersebar sampai ketinggian 1.000 m dpl.
Terdengar pekikan yang melengking "hi-hi-hi-hi-hi" dan lolongan yang panjang[1]. Pada masa berbiak terdengar suara yang agak lemah tetapi lebih mantap "wiiik wiik wiik ciwiiik ciwiik".
Asia Selatan, Asia tenggara, Sunda Besar, Filipina. Di Indonesia, penyebarannya terdapat di Sumatra, Kalimantan, Jawa, Bali[3].Tidak jarang ditemukan di hutan dataran rendah Sumatra (termasuk Nias) dan Kalimantan (termasuk Kep. Natuna) sampai ketinggian 1000 m. Di Jawa dan Bali dulu tersebar luas di hutan dataran rendah dan perbukitan, tetapi sekarang langka.[4]
Secara global, alap-alap jambul terdapat 11 sub-spesies dengan pesebaran berbeda yang meliputi Asia Selatan, Asia tenggara, Filipina, dan Sunda Besar. Tidak jarang ditemukan di hutan dataran rendah Sumatra (termasuk Nias) dan Kalimantan (termasuk Kep. Natuna) sampai ketinggian 1000 m. Di Jawa dan Bali dulu tersebar luas di hutan dataran rendah dan perbukitan, tetapi sekarang langka.[5]
Makanan utamanya adalah Burung, kadal, mamalia kecil, katak, serangga besar. Juga di Asia Tenggara memakan burung punai. Individu berukuran lebih kecil umum memakan kadal, tupai, dan tikus.[6]
Berburu di tenggeran yang rendah di laut. Selalu tinggal di hutan lebat. Pada waktu berbiak kadang-kadang memperlihatka cara terbang yang khas, yaitu getaran sayap (bulu putih pada sisi tubuhnya terlihat jelas) berselang dengan luncuran pendek dalam lingkaran yang sempit.
Mereka mulai membuat sarang sekitar pada bulan februari untuk yang di Kalimantan, Bulan Januari untuk yang di sumatera dan Desember untuk yang di Jawa ( Prawiradilaga, DM, dkk. 2003). Sarang cukup besar untuk ukuran dari genus Accipiter dengan lebar sarang 50 cm dan kedalaman mencapai 30 cm atau lebih setelah sarang digunakan berulang dalam beberapa tahun. Struktur sarang itu sendiri terdiri dari ranting dan dedaunan hijau dengan ketinggian 9-45 meter dari tanah yang diletakan agak tersembunyi di antara dedaunan atau tanaman pembelit. Jumlah telur yang dihasilkan rata-rata 1-2 butir telur berwarna putih kebiruan berbintik coklat dengan masa pengeraman diperkirakan sekitar 34 hari.[5]