Benteng Wolio dan Sejarahnya
Benteng Wolio adalah benteng terluas di dunia berdasarkan catatan Museum Rekor Dunia Indonesia (MURI) dan Guinness Book of World Record pada 2006. Total luasnya adalah 23,3 hektare.
Nama Benteng Wolio ini berasal dari kosakata welia, yang berarti membabat. Menurut cerita, pembangunan benteng ini disertai dengan dibabatnya pohon-pohon berukuran besar yang ada di sekitar. Selain itu, benteng ini juga dikenal sebagai Benteng Keraton Buton karena ada rumah tempat tinggal Sultan Buton di dalamnya.
Benteng Wolio adalah benteng tua berusia ratusan tahun yang wujudnya berupa tumpukan batu karst yang mengelilingi sebuah istana. Dulunya, Benteng Wolio berfungsi untuk menjadi pembatas area istana sekaligus benteng pertahanan.
Cikal bakal Benteng Wolio sudah ada sejak era kekuasaan Raja Buton III pada abad ke-16. Raja yang dikenal sebagai La Sangaji dengan Kaimuddin itu awalnya hanya membangun dinding dengan tumpukan batu sederhana. Setelah tampuk kekuasaan beralih ke Raja Buton IV, kualitas benteng ditingkatkan menjadi susunan bebatuan dengan putih telur, pasir, dan kapur sebagai perekatnya.
Benteng Wolio saat ini telah berstatus Cagar Budaya yang ditetapkan sejak tahun 2003. Kini, Kawan GNFI pun bisa menyempatkan diri berkunjung ke Benteng Wolio apabila sedang berada di Kota Baubau.
Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News
Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
Peradaban Indus,[3] 2800 SM–1800 SM, merupakan sebuah peradaban kuno yang hidup sepanjang Sungai Indus yang sekarang merupakan wilayah Pakistan dan India barat.[4] Peradaban ini juga dikenal peradaban yang berpusat di kota Mohenjo Daro dan Harrapa.[5] Keruntuhan peradaban ini ditengarai disebabkan Sungai Saraswati Veda yang mengalami kekeringan pada sekitar akhir 1900 SM akibat tingkat radiasi matahari yang cukup tinggi sehingga memengaruhi curah hujan di sekitar lembah.[6][7] Para arkeolog mengungkapkan peradaban Lembah Indus merupakan peradaban kuno paling luas yang ditemukan setelah situs peradaban Mesopotamia dan Mesir. Pada tahun 1980 peradaban Lembah Indus ditetapkan sebagai situs warisan dunia oleh UNESCO.[8] [1] [9]
Orang-orang Dravida atau penutur bahasa Proto-Dravida (leluhur dari Tamil, Telugu, Kannada, dan Malayalam) yang diperkirakan merupakan pendiri kota kuno ini sendiri masih menjadi perdebatan dikalangan para arkeolog.[10] Riwayat mereka tak dapat ditelusuri hingga sekarang. Bahasa dan aksara mereka dalam artefak-artefak yang ditemukan di sana masih sedikit yang dapat dipecahkan hingga sekarang.[11] Uniknya di kota tersebut tidak ditemukan bangunan untuk kegiatan religius dan tanda-tanda sistem kasta seperti kuil-kuil dan monumen besar yang megah.[12][13] Hal ini mengakibatkan para peneliti berspekulasi kalau masyarakat Mohenjo Daro dan Harappa merupakan peradaban yang hidup bergantung sepenuhnya pada ilmu pengetahuan (sudah meninggalkan praktik keagamaan) dan memiliki filosofi hidup yang tinggi (terlihat dari ketiadaan sistem kasta dalam hierarki sosial).[14] Berdasarkan dari peninggalan yang ditemukan, mereka merupakan salah satu peradaban yang sudah maju dengan adanya bukti timbangan dan ukuran yang sudah memiliki standar, ukiran cap, stempel perangko, tembikar dan telah mengenal teknik peleburan logam seperti tembaga, perunggu, dan timah.[11][15] Disamping itu Mohenjo Daro dan Harappa merupakan kota yang sangat berkembang, banyak rumah yang memiliki sumur dan kamar mandi serta sistem saluran air bawah tanah yang kompleks.[4][12][16]
Keruntuhan peradaban ini diduga disebabkan oleh perubahan iklim. Perubahan iklim pada masa itu menyebabkan zaman es kecil yang mengakibatkan musim kemarau menjadi lebih kering yang berdampak negatif terhadap pertanian. Hal inilah yang membuat masyarakat peradaban tersebut pindah ke desa-desa kecil di kaki bukit Himalaya. Selain itu pada saat yang sama datang peradaban Indo-Arya dengan membawa peralatan yang lebih canggih.[17] Bangsa Indo-Arya ini ditengarai menyerang masyarakat Lembah Sungai Indus karena di sekitar bekas kota ditemukan sisa kerangka yang seolah-olah menunjukkan bukti kuat adanya penyerbuan.[18] Dugaan lainnya dari keruntuhan peradaban ini adalah disebabkan oleh banjir karena kota ini tampaknya begitu padat penduduk dan banjir telah terjadi berulang kali,[18] namun sayangnya bukti ini dirasa kurang kuat karena tidak seluruh kota hancur oleh banjir.[12] Dugaan lainnya adalah karena perkembangan sosial budaya dari pertanian ke bidang lainnya sehingga kota ini kemudian ditinggalkan.[12]
Bahasa Betawi termasuk salah satu bentuk dialek bahasa Melayu. Keistimewaannya adalah mudah digunakan untuk berkomunikasi dengan suku-suku bangsa lain yang paham bahasa Indonesia. Bahasa Betawi merupakan hasil pembauran bahasa-bahasa antar suku dan dipengaruhi unsur bahasa asing (Arab, Belanda, Portugis, Inggris, dan Cina). Bahasa Melayu dialek Nusa Kalapa telah dipergunakan di Jakarta paling tidak sejak abad ke-10. Bahasa Melayu dialek Jakarta atau Bahasa Betawi ini terdapat kosakata yang tergolong "Betawi Kawi", yang dipengaruhi oleh bahasa Melayu Polinesia dan bahasa Kawi-Jawi. Bahasa Betawi yang dipergunakan sejak abad ke-10, mendapat pengaruh dari bahasa Portugis mulai abad ke-16. Pada awalnya Bahasa Melayu digunakan oleh orang-orang atau penduduk asli Jakarta dan menjadi dasar bahasa Indonesia. Mudah sekali berbaur dengan bahasa Indonesia karena banyak persamaan antara keduanya, sehingga sering pula disebut bahasa Indonesia dialek Jakarta. Perbedaan utamanya hanya pada ucapan sejumlah kata-kata yang pada kedua bahasa itu belum ada padanannya. Umumnya penduduk Betawi asli mengucapkan bunyi a menjadi e, misalnya Abah =Abe, Ada =Ade, Saja =Saje, dan lainnya, yang banyak dipengaruhi oleh bahasa Arab, bahasa Cina, bahasa Jawa, dan bahasa Sunda. Penduduk asli kota Jakarta yang pernah mempunyai nama Sunda Kelapa, Jayakarta, dan Batavia berbahasa Melayu. Di Pelabuhan Sunda Kelapa terjadi pertemuan para pedagang dari dalam (Sumatra, Kalimantan, Sulawesi, Jawa Timur dan Malaka) dan luar Nusantara (orang Arab dan Cina datang lebih dulu daripada orang Portugis dan Belanda) dengan penduduk setempat. Pertemuan antarbangsa ini mengakibatkan kontak bahasa. Dalam berkomunikasi dagang digunakan Bahasa Melayu sebagai lingua franca. Bahasa Betawi ini merupakan salah satu dialek areal dari bahasa melayu, yang berkembang sejak awal-awal abad masehi di kawasan antara sungai Cisadane disebelah barat sampai sungai Citarum di sebelah timur; dari pantai Teluk Jakarta disebelah utara sampai dekat kaki gunung salak disebelah selatan. Kosakatanya sebagian besar sama dengan kosakata bahasa melayu umum; lalu diperkaya dengan kosakata dari bahasa Arab, cina, Belanda dan beberapa bahasa daerah lain, seperti bahasa Jawa, Sunda, dan Bali. Selain ada kosakata khas milik bahasa Betawi. Kosakata bahasa asing yang diserap ke dalam Bahasa Melayu berasal dari Bahasa Arab, Cina, Portugis, Belanda, Inggris dan Sanskerta. Penyerapan dari bahasa-bahasa itu turut memberikan ciri kepada Bahasa Melayu yang dituturkan oleh penduduk Jakarta asli sehingga menjadi Bahasa Melayu dialek Betawi . Dialek Betawi memiliki ciri khas fonetis yang membedakannya dengan Bahasa Melayu dialek lainnya. Bahasa Cina, terutama Bahasa Hokkian, merupakan bahasa asing yang turut memperkaya khazanah kosakata Bahasa Melayu Betawi. Bahasa Indonesia Nonformal Bahasa Melayu Betawi banyak digunakan dalam percakapan berbahasa Indonesia pada situasi nonformal. Pada masa pra Sumpah Pemuda bahasa Indonesia yang masih disebut bahasa Melayu menjadi alat komunikasi atau bahasa yang sering dipergunakan di dalam pergaulan sehari-hari antara suku-suku bangsa Indonesia atau antara bangsa Indonesia dan bangsa asing sehingga bahasa Melayu adalah menjadi semacam jembatan yang mengakrabkan pergaulan dan memesrakan hubungan antara suku-suku bangsa dari pelbagai daerah Indonesia. Bahasa Melayu dialek Betawi yang untuk mudahnya biasa disebut bahasa Betawi, merupakan ciri kebudayaan yang paling menonjol dari orang Betawi, digunakan mereka secara turun temurun sebagai bahasa sehari-hari. Berdasarkan penggunaan bahasa oleh masyarakat pendukungnya, wilayah yang dapat dianggap sebagai wilayah budaya Betawi itu meliputi seluruh wilayah DKI Jakarta, sebagian besar wilayah Kabupaten Bekasi, Kabupaten Bogor, Kecamatan Batu Raya di Kabupaten Krawang dan Kabupaten Tangerang. Perkembangan selanjutnya terdapat gaya berbahasa Indonesia dengan campuran bahasa Betawi yang disebut "Prokem betawi". Gaya berbahasa ini tidak hanya diucapkan dalam obrolan santai, melainkan telah masuk dalam media surat menyurat seperti gini atau dong, sih serta kata deh. Bahkan media surat kabar yang terbit di Jakarta pun terpengaruh juga dengan prokem Betawi.
Kebudayaan Lembah Sungai Indus
Ukiran Jepara adalah seni ukir yang berasal dari daerah Jepara, sebuah kota di provinsi Jawa Tengah, Indonesia. Seni ukir ini telah ada sejak zaman kerajaan Jepara pada abad ke-15. Ukiran Jepara terkenal karena keindahan dan kehalusan tatahannya yang khas. Ukiran Jepara umumnya menggunakan kayu jati sebagai bahan utama. Kayu jati dipilih karena kekuatannya dan kemampuan untuk menghasilkan detail yang rumit dalam ukiran. Ukiran Jepara juga menggunakan berbagai teknik ukir, seperti ukiran tinggi (relief) dan ukiran rendah (hiasan permukaan). Motif-motif yang sering ditemukan dalam ukiran Jepara mencakup flora dan fauna lokal, serta motif-motif geometris dan motif-motif islam. Motif flora dan fauna sering kali menggambarkan daun, bunga, burung, atau hewan-hewan seperti kuda, singa, atau naga. Motif geometris sering kali terinspirasi dari pola-pola islamik seperti bintang, lingkaran, dan segi empat. Proses pembuatan ukiran Jepara melibatkan beberapa tahap. Pertama, seorang pengukir biasanya merancang desain ukiran di atas kayu dengan menggunakan pensil atau alat lainnya. Setelah itu, mereka akan mulai memahat kayu dengan menggunakan pahat, gergaji, dan berbagai alat ukir lainnya. Tahap ini membutuhkan ketelitian tinggi dan keahlian yang mendalam untuk menciptakan detail yang halus dan akurat. Setelah ukiran selesai dipahat, langkah selanjutnya adalah menghaluskannya dengan menggunakan amplas dan bahan-bahan lain untuk mencapai kehalusan permukaan yang diinginkan. Terakhir, ukiran tersebut dapat diwarnai atau diberi lapisan pelindung seperti lilin atau vernis untuk meningkatkan keindahannya dan melindungi kayu dari kerusakan. Ukiran Jepara tidak hanya diaplikasikan pada perabot rumah tangga seperti meja, kursi, atau lemari, tetapi juga dapat ditemukan dalam seni arsitektur seperti pintu, jendela, atau hiasan dinding. Keahlian para pengukir Jepara telah diakui di tingkat nasional maupun internasional, sehingga ukiran Jepara menjadi bagian penting dari warisan budaya Indonesia. Ukiran asli Jepara juga terlihat dari motif Jumbai atau ujung relung dimana daunnya seperti kipas yang sedang terbuka yang pada ujung daun tersebut meruncing. Selain itu juga ada buah tiga atau empat biji keluar dari pangkal daun.Selain itu,tangkai relungnya memutar dengan gaya memenjang dan menjalar membentuk cabang-cabang kecil yang mengisi ruang atau memperindah. Salah satu ciri khas yang terkandung didalamnya adalah bentuk corak dan motif.Untuk motif sendiri bisa kita lihat dari : Daun Trubusan yang terdiri dari dua macam yaitu dilihat dari yang keluar dari tangkai relung dan yang keluar dari cabang atau ruasnya.
Sara Jilani/CC BY-SA 3.0
Merupakan salah satu peradaban terpenting di Zaman Perunggu, benarkah Peradaban Lembah Indus runtuh karena bangsa Arya?
Nationalgeographic.co.id—Peradaban Lembah Indus merupakan salah satu peradaban terpenting di Zaman Perunggu. Prestasinya setara dengan peradaban Mesir kuno. Peradaban Lembah Indus juga sering diklaim sangat berpengaruh dalam perkembangan masyarakat di kemudian hari di anak benua India.
Namun, alasan runtuhnya peradaban kuno ini merupakan salah satu misteri terbesar di dunia kuno. Penelitian tentang pola musim hujan historis mungkin telah memecahkan teka-teki ini. Sekarang tampaknya perubahan iklim bertanggung jawab atas kemunduran dan kejatuhan Peradaban Lembah Indus, yang juga dikenal sebagai budaya Harappa.
Dr. Nishant Malik, dari Institut Teknologi Rochester di negara bagian New York, mengembangkan model matematika. Ia dan rekan-rekannya mengembangkan kerangka kerja hibrida yang sesuai untuk mengidentifikasi rezim dan transisi dinamis yang berbeda dalam rangkaian waktu paleoklimat.
Tiga metode statistik yang berbeda digunakan untuk memahami iklim di zaman kuno dan khususnya tingkat curah hujan musim hujan. Dr. Malik menerapkan teori sistem dinamis pada data paleoklimat. Misalnya, data tentang curah hujan berdasarkan keberadaan isotop tertentu di stalagmit di sebuah gua.
Ketika pola musim hujan berubah, peradaban kuno runtuh
Model tersebut menemukan bahwa sekitar 5.200 tahun yang lalu, periode hangat yang dikenal sebagai Iklim Optimum Holosen berakhir. “Gletser meluas dan memantulkan lebih banyak sinar matahari kembali ke luar angkasa dan ini mendinginkan planet ini,” tulis Ed Wheelan di laman Ancient Origins. Akibatnya, perbedaan suhu antara daratan dan lautan meningkat dan ini sangat penting dalam pembentukan musim hujan.
Berakhirnya iklim Optimum Holosen berarti bahwa tingkat curah hujan musim hujan meningkat.
Peradaban Lembah Indus bergantung pada musim hujan, seperti halnya budaya-budaya berikutnya di Asia Selatan. Dr. Nishant Malik mengatakan, “Wilayah tempat Peradaban Lembah Indus berkembang adalah daerah semikering, yang dikaruniai beberapa sungai yang dialiri gletser. Misalnya Sungai Indus dan banyak anak sungainya.”
Masyarakat budaya Harappa sering membangun permukiman dan pusat kota di sepanjang Sungai Ghaggar–Hakra. Semua itu bergantung pada musim hujan. Dr. Malik menjelaskan, “Oleh karena itu, Peradaban Lembah Indus sangat bergantung pada curah hujan yang disebabkan oleh musim hujan, sebuah fenomena yang sangat dinamis.”
Pencapaian budaya Harappa
Seiring musim hujan membawa lebih banyak hujan, pertanian meningkat. Hal ini berarti masyarakat budaya Harappa dapat mengembangkan masyarakat yang canggih antara tahun 3500 dan 1300 SM.
Baca Juga: Peradaban Tertua di Dunia, Benarkah Kini Tak Lagi 'Dimiliki' Irak?
Peradaban kuno ini menjangkau hingga Afghanistan dan meliputi sebagian besar Pakistan dan wilayah India barat laut. Beberapa perhitungan menyatakan bahwa tempat ini dihuni oleh sekitar lima juta orang. Dua kota terbesarnya adalah Mohenjo Daro dan Harappa.
“Peradaban ini dikenal dengan infrastruktur dan teknologi perkotaan yang canggih, seperti sistem untuk mengukur panjang dan massa,” kata Dr. Malik.
Peradaban Sungai Indus memiliki sistem sanitasi yang memungkinkan mereka untuk tinggal di kota-kota besar. Tata letak permukiman mereka sangat seragam. Hal ini menunjukkan bahwa mereka adalah masyarakat yang sangat hierarkis, yang direncanakan secara terpusat. Namun, banyak hal tentang peradaban yang luar biasa ini masih misterius karena sistem penulisan kunonya belum diuraikan.
Perubahan iklim dan kemunduran Peradaban Lembah Indus
Studi menyatakan bahwa budaya Harappa kuno mulai menurun karena perubahan ukuran gletser akibat gaya orbital. Hal ini memengaruhi seberapa banyak cahaya, dan karenanya panas, mencapai area tertentu. Sekitar 1.300 SM, hal ini menyebabkan suhu menjadi lebih dingin dan memengaruhi musim hujan. Karena curah hujan yang lebih sedikit, orang-orang dari budaya Harappa berjuang untuk bercocok tanam. Hal ini menyebabkan kemunduran peradaban kuno mereka.
Mengutip pernyataan Dr. Malik, “Kami di sini menunjukkan bahwa peradaban ini tidak hanya menjadi dewasa tetapi juga menurun karena transisi dalam hidroklimat wilayah ini.” Masyarakat budaya Harappa tidak dapat bertahan hidup tanpa curah hujan yang melimpah. Dan diyakini bahwa mereka meninggalkan daerah tersebut, meninggalkan kota-kotanya, dan bermigrasi ke tempat lain. Masyarakat tersebut pun membentuk masyarakat pertanian kecil di daerah dataran tinggi.
Membantah teori invasi Arya
Temuan ini juga mirip dengan temuan yang ditetapkan oleh Woods Hole Oceanographic Institution (WHOI). Berdasarkan studi fosil, mereka menemukan bahwa pola musim hujan telah berubah sekitar tahun 1800 SM. Mereka menemukan bahwa musim hujan musim dingin tampaknya menjadi lebih kuat menjelang tahun-tahun terakhir peradaban Harappa. Dan musim hujan musim panas melemah.
Teori lain yang menjelaskan kemunduran peradaban menunjukkan bahwa peradaban itu hancur oleh gempa bumi atau oleh invasi bangsa Indo-Arya nomaden. Dahulu, banyak yang percaya bahwa bangsa Arya menyerbu Lembah Indus dan menyebabkan runtuhnya peradaban kuno itu.
Namun, hanya ada sedikit bukti fisik pada sisa-sisa yang menunjukkan bahwa budaya itu runtuh karena invasi atau perang. Penelitian selanjutnya menunjukkan bahwa perubahan iklim kemungkinan besar bertanggung jawab atas runtuhnya peradaban yang luar biasa namun misterius ini.
Mars Terus 'Menarik' Bumi ke Arah Matahari, Apa Dampaknya bagi Kita?
Yuk, beri rating untuk berterima kasih pada penjawab soal!
Mengupayakan Benteng Terluas di Dunia untuk Jadi Warisan Dunia UNESCO
Benteng Wolio sedang diupayakan untuk bisa menjadi Warisan Budaya UNESCO. Pemkot Baubau, Sulawesi Tenggara, telah mengambil langkah untuk mewujudkan keinginan itu.
Sebagai langkah permulaan, Pemkot Baubau menggelar Seminar Awal Penyusunan Dokumen Pengusulan Benteng Wolio Sebagai Warisan Dunia (World Heritage UNESCO) di Baubau, Selasa (25/10) lalu. Melalui seminar awal ini, disiapkan dokumen yang dibutuhkan untuk mendorong Benteng Wolio menjadi warisan dunia.
Ada dua hal yang dinilai membuat diupayakannya Benteng Wolio menjadi Warisan Budaya UNESCO menjadi penting. Pertama, agar benteng tersebut terawat dengan baik dan menarik perhatian masyarakat internasional untuk ikut juga menjaganya. Kedua, menjaga Benteng Wolio adalah bentuk penghormatan kepada leluhur.
"Kalau mereka (leluhur) sudah membuatkan kita (benteng) seagung ini masa kita tidak bisa mengantar menjadi kelas dunia. Jadi tanggung jawab kita sebagai generasi hari ini bagaimana lebih membesarkan lagi," ujar Wali Kota Baubau, La Ode Ahmad Monian, seperti dilaporkan Antara.
"Kalau mereka (leluhur) sudah membuatkan kita (benteng) seagung ini masa kita tidak bisa mengantar menjadi kelas dunia. Jadi tanggung jawab kita sebagai generasi hari ini bagaimana lebih membesarkan lagi," pungkasnya.
Seminar awal penyusunan dokumen pengusulan Benteng Wolio melibatkan para ahli untuk mengisi materi. Adapun ahli yang didatangkan ada lima orang yang mana seluruhnya adalah para pakar di bidang arkeologi, sejarah, dan lainnya dari sejumlah kampus di Sulawesi Tenggara.